Shalat itu lebih utama dari dzikir.
Namun sebagian kalangan menempatkan dzikir sesudah shalat itu lebih utama dari shalat. Yang terjadi, mereka berdzikir bisa sampai satu jam setelah shalat wajib. Sedangkan shalatnya saja cepat, hanya 5 menitan. Malah ada yang dzikirnya sampai ribuan namun sayang tidak shalat.
Penjelasan berikut kami sarikan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 669) mengenai ayat di atas.
Setelah menyebutkan keutamaan shalat dalam ayat ini, kebanyakan pakar tafsir menyatakan bahwa dzikir setelah shalat lebih utama daripada shalat itu sendiri. Namun menurut Syaikh As-Sa’di, pernyataan yang awal disebutkan bahwa shalat itu lebih utama dari ibadah lainnya menunjukkan bahwa shalat itu sendiri lebih utama dari dzikir sesudah shalat. Karena shalat sendiri adalah akbarudz dzikr (dzikir yang paling besar). Demikian intisari pernyataan dari Syaikh As-Sa’di rahimahullah.
“’Ali bin Syaiban, ia adalah seorang delegasi (utusan). Ia berkata, “Kami pernah keluar hingga kami bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami pun membai’at beliau dan kami shalat di belakang beliau. Beliau lantas mencuri pandangan lewat pelipis matanya pada seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya saat shalat ketika ruku’ dan sujud. Ketika selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai kaum muslimin, tidak ada shalat bagi yang tidak menegakkan punggungnya saat ruku’ dan sujud.” (HR. Ibnu Majah no. 871 dan Ahmad 4: 23. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
“Kenapa bisa ada kaum yang mengangkat pandangannya ke langit-langit dalam shalatnya.” Beliau keras dalam sabda beliau tersebut, hingga beliau bersabda, “Hendaklah tidak memandang seperti itu, kalau tidak, pandangannya akan disambar.” (HR. Bukhari no. 750).
Namun sebagian kalangan menempatkan dzikir sesudah shalat itu lebih utama dari shalat. Yang terjadi, mereka berdzikir bisa sampai satu jam setelah shalat wajib. Sedangkan shalatnya saja cepat, hanya 5 menitan. Malah ada yang dzikirnya sampai ribuan namun sayang tidak shalat.
Allah Ta’ala berfirman,
اَتْلُ
مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ
الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ
أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)
Penjelasan berikut kami sarikan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 669) mengenai ayat di atas.
Fahsya’ dan Munkar
Dalam ayat disebutkan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan fahsya’ dan munkar. Apa yang dimaksud fahsya’ dan munkar?
Fahsya’ artinya maksiat yang sangat disukai oleh jiwa. Sedangkan munkar adalah maksiat yang akal dan fitrah tidak menyetujuinya.
Shalat Mencegah Fahsya’ dan Munkar
Shalat
yang bagaimana yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar? Yaitu
shalat yang dikerjakan dengan memenuhi rukun, syarat, dan khusyu’nya.
Hati jadi bersinar dan bersih ketika melaksanakannya. Iman pun semakin
bertambah ketika shalat tersebut dijalankan. Shalat tersebut pun semakin
mendorong orang untuk semangat dalam kebaikan. Shalat tersebut dapat
membuat kejelekan (dosa) diminimalkan atau bahkan dinihilkan.
Shalat yang dikerjakan seperti yang disebut di atas, itulah yang dapat mencegah perbuatan fahsya’ dan munkar. Itulah hasil dan buah shalat yang paling utama.
Shalat itu Lebih Utama dari Dzikir
Ada shalat yang lebih utama yaitu shalat yang di dalamnya terdapat dzikir pada Allah dengan hati, lisan dan badan. Karena Allah Ta’ala menciptakan
makhluk untuk beribadah. Ibadah yang paling utama adalah shalat.
Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam shalat terdapat ibadah dengan seluruh jawarih (anggota badan) yang tidak terdapat pada ibadah lainnya. Oleh karena itu disebut dalam ayat dengan ‘wa ladzikrullahi akbar’, yaitu shalat lebih utama dari ibadah lainnya.
Setelah menyebutkan keutamaan shalat dalam ayat ini, kebanyakan pakar tafsir menyatakan bahwa dzikir setelah shalat lebih utama daripada shalat itu sendiri. Namun menurut Syaikh As-Sa’di, pernyataan yang awal disebutkan bahwa shalat itu lebih utama dari ibadah lainnya menunjukkan bahwa shalat itu sendiri lebih utama dari dzikir sesudah shalat. Karena shalat sendiri adalah akbarudz dzikr (dzikir yang paling besar). Demikian intisari pernyataan dari Syaikh As-Sa’di rahimahullah.
Ada
pendapat dari ulama lain yang dinukil oleh Imam Asy-Syaukani yang
menyatakan sama seperti pendapat Syaikh As-Sa’di di atas bahwa dzikir
yang dimaksud dalam ayat adalah shalat. Karena dalam ayat lainnya shalat
dinyatakan dengan dzikir seperti pada ayat,
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (yaitu shalat).”
(QS. Al-Jumu’ah: 9). Yang jelas dalam shalat terdapat dzikir yang
menunjukkan keutamaan shalat itu sendiri dari ibadah lainnya. (Lihat Fath Al-Qadir, 4: 269)
Yang Dimakruhkan dalam Shalat
Yang dimaksudkan dengan makruh adalah segala yang menyelisihi perkara sunnah yang telah disebutkan sebelumnya.
Makruh
itu sendiri adalah sesuatu yang diberi pahala jika ditinggalkan dengan
landasan diniatkan dan tidak diberi hukuman bagi yang melakukannya.
Namun ada perkara lain yang makruh untuk dilakukan dalam shalat. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1- Menoleh saat shalat dengan memalingkan leher kecuali jika ada
keperluan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai berpaling (menoleh) dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah copetan yang dicopet oleh setan dalam shalat seseorang.” (HR. Bukharino. 751)
Adapun jika ada kebutuhan untuk menoleh seperti saat shalat khauf ketika akan datangnya musuh, maka boleh.
Bahasan
di atas adalah jika menoleh dengan memalingkan wajah atau leher. Adapun
jika memalingkan dada lantas menjauh dari arah kiblat, shalatnya batal
karena meninggalkan rukun menghadap kiblat. Adapun mencuri pandangan
dengan mata, tidaklah mengapa. Dalilnya adalah,
عَلِىِّ
بْنِ شَيْبَانَ – وَكَانَ مِنَ الْوَفْدِ – قَالَ خَرَجْنَا حَتَّى
قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ
وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ فَلَمَحَ بِمُؤْخِرِ عَيْنِهِ رَجُلاً لاَ يُقِيمُ
صَلاَتَهُ – يَعْنِى صُلْبَهُ – فِى الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ فَلَمَّا
قَضَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الصَّلاَةَ قَالَ « يَا مَعْشَرَ
الْمُسْلِمِينَ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ فِى الرُّكُوعِ
وَالسُّجُودِ »
“’Ali bin Syaiban, ia adalah seorang delegasi (utusan). Ia berkata, “Kami pernah keluar hingga kami bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami pun membai’at beliau dan kami shalat di belakang beliau. Beliau lantas mencuri pandangan lewat pelipis matanya pada seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya saat shalat ketika ruku’ dan sujud. Ketika selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai kaum muslimin, tidak ada shalat bagi yang tidak menegakkan punggungnya saat ruku’ dan sujud.” (HR. Ibnu Majah no. 871 dan Ahmad 4: 23. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
2- Memandang ke langi-langit.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى
صَلاَتِهِمْ » . فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِى ذَلِكَ حَتَّى قَالَ «
لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ »
“Kenapa bisa ada kaum yang mengangkat pandangannya ke langit-langit dalam shalatnya.” Beliau keras dalam sabda beliau tersebut, hingga beliau bersabda, “Hendaklah tidak memandang seperti itu, kalau tidak, pandangannya akan disambar.” (HR. Bukhari no. 750).
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (yaitu shalat).”
(QS. Al-Jumu’ah: 9). Yang jelas dalam shalat terdapat dzikir yang
menunjukkan keutamaan shalat itu sendiri dari ibadah lainnya. (Lihat Fath Al-Qadir, 4: 269)
3- Melipat atau mengumpulkan rambut dan menyingsingkan ujung pakaian di
tengah-tengah shalat.
Dalam
hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ
أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ
، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ ، وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ
وَالشَّعَرَ
“Aku
diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk
juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan
kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan
kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut.” (HR. Bukhari no.
812 dan Muslim no. 490)
Yang
diperintahkan adalah menjulurkan celana atau pakaian sebagaimana adanya. Namun
dengan catatan, pakaian tidak isbal (tidak melebihi mata kaki), itu lebih
selamat.
4- Shalat ketika telah tersaji makanan dan sangat ingin sekali menyantap
makanan tersebut.
Jika
tidak mendahulukan, maka tidak akan khusyu’ saat shalat.
Dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ
وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ ، وَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى
يَفْرُغَ مِنْهُ
“Jika
makan malam salah seorang dari kalian telah tersaji sedangkan shalat telah
ditegakkan, maka dahulukanlah makan malam tersebut. Janganlah tergesa-gesa,
santaplah hingga habis.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 559).
5- Shalat
dalam keadaan menahan kencing dan kentut.
Dari
‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ
وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak
ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi
yang menahan akhbatsan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no.
560).
Bagi
ulama yang berpendapat bahwa khusyu’ termasuk dalam kewajiban dalam shalat,
berarti maksud kata “laa” dalam hadits menunjukkan tidak sahnya shalat dengan
menahan kencing. Sedangkan menurut jumhur atau mayoritas ulama bahwa khusyu’
dihukumi sunnah, bukan wajib. Sehingga “laa” yang dimaksud dalam hadits adalah
menafikan kesempurnaan shalat atau hadits itu diartikan “tidak sempurna shalat
dari orang yang menahan kencing”.
I
mam
Nawawi berkata, “Menahan kencing dan buang air besar (termasuk pula kentut,
-pen) mengakibatkan hati seseorang tidak konsen di dalam shalat dan khusyu’nya
jadi tidak sempurna. Menahan buang hajat seperti itu dihukumi makruh menurut
mayoritas ulama Syafi’iyah dan juga ulama lainnya. Jika waktu shalat masih
longgar (artinya: masih ada waktu luas untuk buang hajat, -pen), maka dihukumi
makruh. Namun bila waktu sempit untuk shalat, misalnya jika makan atau bersuci
bisa keluar dari waktu shalat, maka (walau dalam keadaan menahan kencing),
tetap shalat di waktunya dan tidak boleh ditunda.”
Imam
Nawawi berkata pula, “Jika seseorang shalat dalam keadaan menahan kencing
padahal masih ada waktu yang longgar untuk melaksanakan shalat setelah buang
hajat, shalat kala itu dihukumi makruh. Namun, shalat tersebut tetaplah sah
menurut kami -ulama Syafi’i- dan ini yang jadi pendapat jumhur atau mayoritas
ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 46)
6- Shalat dalam keadaan kantuk berat.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّى
فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى
وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ
“Jika
salah seorang di antara kalian dalam keadaan mengantuk dalam shalatnya,
hendaklah ia tidur terlebih dahulu hingga hilang ngantuknya. Karena jika salah
seorang di antara kalian tetap shalat, sedangkan ia dalam keadaan mengantuk, ia
tidak akan tahu, mungkin ia bermaksud meminta ampun tetapi ternyata ia malah
mencela dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 212 dan Muslim no. 786).
Imam
Nawawi menjelaskan, “Hadits di atas mengandung beberapa faedah. Di antaranya,
dorongan agar khusyu’ dalam shalat dan hendaknya tetap terus semangat dalam
melakukan ibadah. Hendaklah yang dalam keadaan kantuk untuk tidur terlebih
dahulu supaya menghilangkan kantuk tersebut. Kalau dilihat ini berlaku umum
untuk shalat wajib maupun shalat sunnah, baik shalat tersebut dilakukan di
malam maupun siang hari.
Inilah pendapat madzhab Syafi’i dan jumhur (mayoritas)
ulama. Akan tetapi shalat wajib jangan sampai dikerjakan keluar dari waktunya.
Al Qodhi ‘Iyadh berkata bahwa Imam Malik dan sekelompok ulama memaksudkan
hadits tersebut adalah untuk shalat malam. Karena shalat malam dipastikan
diserang kantuk, umumnya seperti itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 67-68).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar